About Me

Benang merah kebenaran hidup melalui ungkapan kata “Memberi dulu baru menerima” mulai diperkenalkan ayahku sejak aku masihkecil. “Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya,” demikian kata-kata sering kudengar keluar dari mulut ayahku, meskipun hidup kami serba kekurangan secara materi.

Kata-kata yang sederhana itu telah melahirkan tenaga dasyat dalam hidupku untuk melawan segala ketidakmungkinan menurut pendapat umum dalam masyarakat di sekitar tempat tinggalku waktu itu. Kekuatannya seumpama titik-titik air hujan yang mampu menembus batu. Dan hidupku sekarang meskipun tidak sesukses orang lain, tapi dibandingkan dengan hidup masa lalu telah terjadi perubahan yang luar biasa.

Nama lengkapku Ibnu Sa’dan, aku anak terakhir dari delapan orang bersaudara seayah dan seibu, tapi hanya tiga orang kami yang masih hidup sewaktu aku berumur 6 tahun. Sedangkan saudara-saudaraku yang lain semuanya telah meninggal dunia sebelum aku dapat mengingat bagaimana wajah-wajah mereka.

Tiga orang kami yang masih hidup ini, semuanya yang lahir terakhir, aku lahir Tahun 1964, kakakku lahir Tahun 1965, dan abangku lahir dua tahun sebelumnya. Inilah yang dapat kuingat tentang saudara-saudaraku.

Selain itu hanya aku tahu sepintas dari cerita ibu, bahwa mereka semuanya meninggal dunia sebelum aku lahir, kecuali seorang kakakku yang sulung beliau meninggal dunia ketika umurku sekitar lima tahun, dan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya telah bekeluarga sehingga sempat meninggalkan tiga orang anaknya, satu laki-laki, dua perempuan.

Dua orang diantara mereka menjadi beban tambahan ayah dan ibuku karena mereka ikut tinggal bersama kami.

Sejak ingatanku mulai dapat merekam berbagai hal dalam kehidupan, kondisi keluargaku sepanjang masa berada dalam kemiskinan yang amat sangat. Sebagai gambaran singkat dapat kujelaskan, rumah tempat tinggal kami waktu itu berukuran tidak lebih dari 4 x 4 meter. Semua bangunannya, yang terdiri hanya tiang dan dinding terbuat dari pohon bambu kecuali atapnya dari daun rumbia.

Tidak ada kamar-kamar, pemisah kami waktu tidur hanya kelambu yang dipasang malam hari dan digulung jika hari sudah siang. Tempat tidur dan dapur berada dalam satu ruangan, sedangkan untuk pintunya dibuat dari daun kelapa yang sudah dianyam.

Peralatan dapur yang kami punya waktu itu juga tidak kurang prihatinnya, sebuah kuali tanah untuk memasak nasi dan sebuah panci almuniaum untuk memasak sayur, sementara piring-piringnya kami buat sendiri dari pelepah pinang, dan gelas-gelasnya untuk wadah minuman semuanya kaleng susu bekas.

Lingkungan tempat kami tinggal sebuah desa yang berjarak sekitar lima kilometer dari Panton Labu, Ibu Kota Kecamatan Tanah Jamboaye, Kabupaten Aceh Utara yang terkenal sebagai daerah kaya penghasil migas di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang sekarang bernama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Kondisi keluarga-keluarga lainnya juga lebih kurang sama dengan kami, di sini tidak seorang pun penduduk yang bekerja sebagai pegawai baik di pemerintah maupun perusahaan swasta.

Mata pencaharian penduduk di desa kami semua bercocok tanam, pada musim hujan pergi ke sawah setahun sekali. Sementara keluarga kami tidak punya sawah ataupun ladang, maka kerja ayahku hanya mengambil upah di tempat orang demikian juga ibu. Pada musim-musim paceklik kami tidak jarang harus makan nasi satu hari sekali, itupun harus dicampur dengan pisang rebus yang diparut agar perut bisa kenyang.

Walaupun kondisi ayahku cacat karena tangan kirinya tidak ada sebelah, tapi beliau sangat anti untuk meminta-minta. “Kalau hendak meminta sesuatu kepada seseorang harus engkau berikan dulu sesuatu kepadanya, baru pantas engkau menerima,” demikian ujarnya berkali-kali menasihati kami anak-anaknya.

Kalau tidak ada benda dalam bentuk materi yang dapat kau beri berikanlah untuk mereka jasa baik, setidaknya berikan untuk mereka pujian, karena pujian juga kebutuhan bagi orang-orang berada, tambah ayahku.

Nasihat dari ayahku ini kemudian kupraktekkan dalam kehidupan nyata. Tammat sekolah dasar di kampung, aku jadi penganggur karena tidak ada biaya untuk melanjutkan. Kawan-kawan sebayaku juga begitu tidak ada yang melanjutkan, bahkan lebih banyak lagi yang SD saja tidak sampai tammat, karena tujuan mereka sekolah hanya untuk bisa tulis baca saja sudah cukup.

Aku tidak bisa menerima keadaan itu. Lalu aku minta izin pada ayah dan ibu merantau ke kota mencari uang untuk biaya sekolah sendiri. Pergilah aku ke Panton Labu, di sana aku bekerja membantu orang berjualan di warung kopi. Tiga tahun menabung baru berhasil kukumpulkan uang untuk biaya uang muka masuk SMP. Selama dalam sekolah aku selalu menyiapkan diri untuk membantu orang apa saja, dengan konsep memberi dulu jasa kepada orang baru menerima imbalan, dan semua imbalan itu kugunakan untuk keperluan sekolah.

Konsep ini ternyata sangat manjur, bahkan kadang-kadang sesekali sempat juga aku membantu ayah dan ibu mengirimkan beras kepada mereka walaupun dalam jumlah yang tidak banyak, tapi cukup membantu terutama pada masa-masa paceklik.

Karena abang dan kakakku serta dua orang ponakanku tidak memiliki pekerjaan yang dapat menghasilkan uang, kecuali hanya pada musim turun ke sawah mereka bisa mengambil upah pada orang. Penghasilan mereka yang tidak seberapa itu tentunya lebih diutamakan untuk membeli kebutuhan sendiri, antara lain untuk mengganti pakaian baru setahun sekali.

Setelah tammat SMP aku melanjutkan sekolah ke SMA, tapi menjelang naik ke kelas II kembali dihadang dengan alasan klasik tidak ada biaya, bersamaan dengan itu ayahku pun berpulang ke Rahmatullah, akupun kembali jadi putus sekolah. Di tengah-tengah kesulitan itu, abangku pergi merantau dan aku tetap mencari pekerjaan apa saja untuk membantu biaya ibu dan kakak, sementara ponakanku kembali pada ayahnya.

Dengan kiriman dari abangku dan penghasilan ku yang tidak seberapa dari berjualan pisang sale di terminal Kota Panton Labu, akhirnya aku berhasil merehab rumah untuk tempat tinggal ibu dan kakak, serta mebeli satu unit mesin jahit untuk kakak agar bisa mencari penghasilan sendiri untuk biaya hidupnya.

Setelah itu aku pun ikut pergi merantau ke Banda Aceh. Disana kembali aku bekerja membantu orang apa saja dan melanjutkan pendidikan, hingga akhirnya aku dapat pekerjaan tetap sebagai wartawan di salah satu perusahaan surat kabar.

Dengan tetap memegang prinsip hidup selalu bercita-cita untuk memberi sebanyak-banyaknya, akhirnya aku pun dapat rezki yang dulunya tidak pernah ku bayangkan. Aku telah berhasil keluar dari kungkungan kemiskinan yang melilit kehidupan, walaupun tidak menjadi orang yang kaya raya. Sekarang aku sudah berkeluarga dan sudah punya rumah sendiri dengan dua orang anak.

Begitulah cerita singkat tentang perjuanganku, dan sekarang aku ingin berpesan kepada kepada siapa saja yang mengalami kesulitan hidup agar janganlah cepat berputus asa. Tetaplah terus berusaha sambil terus berdoa, dan jangan sekali-kali terlalu banyak mengharap kepada orang lain jika anda belum meberi. Pesan ini tentunya bukan untuk menggurui tapi hanya sekedar membagi penglaman sesuai dengan yang ku alami sendiri.

Berdasarkan pengalaman pribadi ini aku berkeyakinan, nasib itu memang rahasia Tuhan, dia misterius, tidak dapat diendus dengan ilmu pengetahuan. Tidak seperti alergi, dan juga tidak otomatis muncul seperti bisul. Maka itu kita jangan cepat menyerah. Nasib baik selalu akan berpihak kepada orang-orang bijak yang tidak cepat menyerah dalam perjuangan.

Meskipun tantangan datang bertubi-tubi, orang-orang bijak seperti itu, akan terus berjuang sampai titik kemampuan yang penghabisan. Dan akhirnya mereka memperoleh kemenangan, karena begitulah janji Allah dalam Al Quran, sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan.
READ MORE - About Me

Tidak ada komentar:

Posting Komentar